Istilah generasi milenial belakangan sudah tidak asing di telinga. Istilah tersebut diciptakan oleh dua pakar sejarah dan penulis Amerika yaitu William Strauss dan Neil Howe dalam beberapa bukunya. Generasi ini membawa gaya kehidupan yang unik dan terbarukan, karena lahir diera pergantian abad sehingga menyebabkan banyak sistem kehidupan yang berubah.
Pew Research Center menetapkan tahun 1996 sebagai tahun kelahiran terakhir generasi milenial, sementara tahun kelahiran awal generasi ini adalah tahun 1982, artinya saat ini (tahun 2020) generasi milenial telah berumur 24 hingga 39 tahun. Usia-usia tersebut merupakan usia produktif manusia yang seharusnya dimanfaatkan semaksimal mungkin agar tidak menyesal di hari tua nantinya.
Ada banyak perubahan karakter generasi ini dibanding dengan generasi sebelumnya, para milenials pada umumnya senang dengan hal-hal yang serba praktis, cashless, multitasking, apa saja di-posting di media sosial, butuh pengakuan, konsumtif, dan salah satu karakter yang cukup memprihatinkan namun tidak disadari oleh generasi ini adalah mereka lebih memilih “membeli” pengalaman daripada aset.
Meski tingkat pertumbuhan pendapatan generasi milenial lebih tinggi dibanding dengan generasi/kelompok lainnya, namun sebagian besar dari generasi milenial ini tidak menginvestasikannya di bidang properti.
Berdasarkan data Riset Ekonomi UOB Indonesia tentang tingkat pendapatan berbagai segmentasi populasi antara tahun 2010 dan 2019, pendapatan riil kaum milenial tumbuh sebesar 8,6 persen per tahun secara tingkat pertumbuhan bertahap (compound annual growth rate). Lebih tinggi dibandingkan kelompok demografi lainnya yang berkisar antara 3 hingga 5 persen. Sayangnya, dari riset tersebut, generasi milenial Indonesia menghabiskan hingga 50 persen pendapatannya pada ‘Gaya Hidup 4S’, yaitu Sugar (makanan dan minuman), Skin (perawatan tubuh dan kecantikan), Sun (liburan dan hiburan), dan Screen (konsumsi layar digital).
Bisa kita perhatikan di lingkungan sekitar, berapa banyak kaum ini yang menghabiskan uang hingga puluhan juta rupiah hanya untuk traveling ke berbagai daerah bahkan ke luar negeri, hanya untuk pengalaman bahkan ada yang hanya mencari pengakuan. Sebenarnya tidak masalah jika semua menggunakan uang pribadi, namun ada beberapa yang masih pakai uang orang tua atau mungkin utang.
Ini baru dari segi traveling, belum lagi mereka yang mudah tergiur dengan gadget seperti handphone, kuliner dan promo-promo yang belum tentu dibutuhkan. Jika ini terus dibiarkan, maka kaum ini akan benar-benar sulit memiliki aset atau dalam hal ini kita akan membahas tentang rumah yang juga merupakan satu jenis aset.
Hal yang menyedihkan lagi apabila semua yang didapatkan tersebut adalah hasil dari kredit atau paylater (bayar kemudian). Menjamurnya pinjaman online dan fintech dengan segala kemudahan dan promo-promonya merupakan jebakan bagi kaum ini yang tidak disadari. Bayangkan saja berapa banyak dari generasi ini yang membeli suatu barang atau menikmati suatu jasa hanya karena promo cashback atau demi konten Instagram (media sosial) yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Belajarlah untuk mulai cerdas akan hal-hal ini, walau mungkin terlihat kecil namun karena sering maka jika dihitung juga akan besar jumlahnya, yang pada akhirnya penghasilan kaum milenial ini hilang begitu saja tak berbekas.
Tapi buku ini tidak menggeneralisir bahwa semua milenial itu konsumtif, tidak sedikit milenial yang justru sukses di zaman ini, sukses membangun bisnis sendiri, sukses dengan bisnis start-up, sukses dengan ide-ide kreatif sehingga memunculkan banyak pengusaha-pengusaha muda yang baru, beberapa milenial pun bisa masuk ke pemerintahan sebagai anggota dewan, wakil menteri, hingga jabatan menteri itu sendiri, bahkan ada staf khusus yang diangkat oleh Presiden yang isinya adalah para generasi milenial.
Buku ini akan kembali mengajak para milenial muda untuk segera memenuhi kebutuhan primer berupa papan (hunian), setelah 2 (dua) jenis kebutuhan primer lainnya terpenuhi yaitu sandang (pakaian) dan pangan (makanan), dan sejenak melupakan gaya hidup 4S hingga 3 (tiga) kebutuhan primer terpenuhi. Karena tidak ada gunanya show off punya ini-itu ke semua teman, kalau ternyata kebutuhan akan hunian belum terpenuhi.
Tertarik memiliki buku “Milenial (gak) Bisa Punya Rumah”?
Bisa ke website MGBPR di pemesana via tokopedia , pemesanan via Shopee